Upah Jurnalis

Berapa upah yang layak bagi seorang jurnalis?

Tiap daerah tentu punya ukuran yang berbeda, tapi untuk di Yogyakarta, saya dapat hitungan baru.

Versi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Jogja, kebutuhan layak seorang jurnalis dalam sebulan, yakni: makanan dan minuman sebesar Rp 750.000, perumahan dan fasilitas sebesar Rp 242.667, kebutuhan sandang Rp 149.000 dan ditambah aneka kebutuhan lainnya Rp 1,3 juta lebih. Total kebutuhan Rp 2.480.439. Upah tersebut harus ditambah 10 persen dari total upah sebesar Rp 248.439 untuk tabungan. Sehingga totalnya mencapai Rp 2,7 juta lebih.

Kebutuhan mendasar bagi pemburu berita di Yogyakarta pun, berbeda jika dibandingkan dengan pemburu berita di Ibukota Jakarta. Disana mungkin laptop lebih dibutuhkan, tetapi disini, kendaraan bermotor jelas prioritas utama. Bagi yang pernah tinggal di Yogyakarta pasti tahu benar soal transportasi disini.

Upah layak itu jelas penting. Mengapa? Para jurnalis sadar betul yang namanya menerima “amplop” jelas haram bin terlarang. Itu melanggar kode etik jurnalis. Tapi, kalau upah rendah sementara kebutuhan tinggi, terima amplop pun jelas solusi terpintas. Meski masih banyak juga jurnalis yang bertahan di sisi idealisme untuk tidak menerima amplop. Saya berdiri di sisi itu. Tapi tidak menyalahkan kawan-kawan yang berdiri di sisi lain.

Sejenak saya melirik slip gaji. “Ouwww…masih jauh”

Rz, bisakah-jurnalis-kaya?

Blogger Malaysia Dibui

Biarpun blogger Indonesia dan Malaysia pernah adu gelut, tapi soal pengerangkengan blogger hanya gara-gara menulis sesuatu yang dianggap  keras, kita mesti satu suara: tolak kriminalisasi blogger.  freedom of speech!

Pemilik blog Malaysia Today, Raja Petra Kamaruddin dibui oleh pemerintah Malaysia hanya gara-gara tulisannya yang bertajuk Let`s send the Altantuya murderers to hell. Tulisan itu berisi soal misteri kematian lady escort warga Mongolia, Altantuya Saariibu yang dikaitakan dengan Wakil PM Malaysia Najib Tun Razak.

Baca beritanya disini

Rz, tolak-kriminalisasi-blogger

Kebebasan Pers Indonesia Dibawah Kamboja

Kebebasan pers di Indonesia menyedihkan. Dalam indeks kebebasan pers versi Reporter Without Borders, Indonesia berada di urutan ke-100 dari 167 negara.

Kran kebebasan informasi yang mulai terbuka pasca reformasi 1998, bukan berarti pers bisa merasakan kebebasan. Jumlah media massa seperti koran misalnya, memang bertambah jumlahnya. Bahkan demi korannya laku, sampai-sampai dijual Rp 1000 tiap edisi. Cara itu belakangan juga ditempuh koran yang sudah punya nama macam Kompas dan Koran Tempo. Televisi juga bertambah. Tiap daerah kini berlomba-lomba ingin memiliki televisi lokal. Belum lagi jumlah radio yang makin berjubel, dan saling tumpah tindih berebut gelombang siaran.

Indikator kuantitas itu tentunya bukan ukuran kebebasan pers. Menjamurnya media di Indonesia hanya euforia setelah bertahun-tahun pers mengalami tekanan. Apalagi jaman Orba dulu, yang namanya Departemen Penerangan, atau Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspenad) jadi momok menyeramkan pers Indonesia. Salah ngomong atau salah tulis kala itu, maka siap dibredel adalah resiko yang harus diterima. Meskipun saya tidak tahu persis tentang “kegarangan” Deppen dan Puspenad kala itu, sebab jaman itu saya belum jadi jurnalis.

Indeks kebebasan pers tahun 2007 yang dirilis oleh Reporters Without Borders menempatkan Indonesia di urutan ke-100 dari 167 Negara di dunia. Posisi ini sedikit lebih baik dari posisi tahun 2006 di urutan ke-103. Namun, sebetulnya urutan itu fluktuatif juga. Ditarik 5 tahun kebelakang; pada tahun 2002 Indonesia berada di urutan ke-57, setahun berikutnya turun ke-110, dan makin turun ke-117 pada tahun 2004. Tahun 2005 membaik di urutan ke-102, lalu tahun 2006 turun selangkah di urutan ke-103.

Indonesia memang masih lebih baik dari Malaysia (124) dan Burma (164), bahkan dibanding negeri Paman Sam yang mengklaim negara demokrasi sekalipun -AS urutan ke-111. Tapi peringkat Indonesia ternyata masih kalah dari Kamboja (85), negara yang memperoleh urutan tertinggi dari Asia Tenggara.

Tidak jelas apa yang menjadi ukuran untuk menentukan urutan ini. Tapi, sekilas dari apa yang dijelaskan, nampaknya faktor kualitas jurnalis semisal hasil karya jurnalistik, tidak menjadi soal utama. Faktor kekerasan dan ancaman terhadap jurnalis saat menjalankan tugasnya lebih menjadi faktor utama penilaian.

Berikut urutan untuk negara-negara di Asia Tenggara:

Kamboja (85)

Timor Leste (94)

Indonesia (100)

Malaysia (124)

Filipina (128)

Thailand(135)

Singapura (141)

Laos (161)

Vietnam (162)

Myanmar (164)

Rz, kebebasan-pers-itu-kebebasan-bersuara

Blog = Freedom of Speech

Hari Sabtu sepekan yang lalu (5/1/2008), saya meliput Obor HAM mampir di Yogyakarta. Dari pers release yang dibagikan panitia, tiba-tiba mata saya terhenti pada satu paragraf. Isinya begini:

“…..…He Weihua ditahan secara paksa di rumah sakit jiwa hanya gara-gara memposting komentar kritis di blognya http://www.boxun/ hero/hewh/. Sebelumnya ia pernah disuntik secara paksa oleh anggota Biro Keamanan Negara. di rumah sakit jiwa pada Desember 2004. Bulan September 2006 lalu, ia dicegat sepeda motor, dan diperingatkan untuk tidak meneruskan aktivitas internetnya”

“….. Seorang penulis internet, Du Daobin, sejak bulan Oktober tahun lalu secara resmi dikenai dakwaan subversi setelah menerbitkan 28 artikel di internet yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pada 25 Juli 2006 lalu, Century China — sebuah website yang sangat populer ditutup dengan tuduhan melanggar. Saat ini, 50 orang blogger mendekam di penjara, demikian laporan akhir tahun Reporters Without Borders yang dipublikasi awal tahun 2007 ini. Pada akhir Oktober 2006, Amnesty International mengimbau semua blogger di seluruh dunia bersatu memperjuangkan kebebasan blogger di China yang terkekang”.

Pengebirian akses internet di China memang bukan cerita baru. Penangkapan terhadap blogger China yang kritis, hanya salah satu contoh. Konon di negeri itu, polisi cyber yang beken disebut The Great Firewall of China siap memantau aktivitas di dunia maya 24 jam non-stop.

Bukan hanya memantau konten situs-situs yang ada, kabarnya mereka juga menelusup ke ruang-ruang privat semisal chatting. Mereka juga menyensor kata kunci seperti demokrasi, hak azasi manusia, korupsi, kebebasan, dll.

Pengebirian akses internet, rupanya dipikirkan Rezim Komunis China untuk menekan pergerakan oposisi yang sangat masif di dunia maya. Apalagi pengguna internet di negeri Tirai Bambu, ini salah satu yang terbesar di dunia.

Nah, kalau ngeblog, yang dianggap berbicara di “dunia maya” saja dilarang, lalu bagaimana nasib mereka yang berbicara di “dunia nyata” seperti di koran, televisi, radio, atau bahkan berorasi di tengah kerumunan massa!

Rz, ngeblog-itu-kebebasan-berbicara