Nekat Memburu Sunrise

Nekat, boleh jadi inilah kalimat yang pas untuk menyebut aksi saya kali ini. Saya dan dua kawan sekantor, melesak menuju situs Ratu Boko di Kalasan, saat jam masih menunjukkan pukul 03:00 WIB (1/7).

Pagi itu rencananya kami akan trekking dan melihat sunrise di atas puncak Bukit Tugel. Tidak ada yang aneh bukan! Eits..tunggu dulu! rencana melihat sunrise ini baru terlintas Kamis (29/6), gara-gara tergiur indahnya sunrise di atas puncak Bukit Tugel, yang ditampilkan sebuah tayangan di televisi swasta.

Tak ada persiapan apapun saat ide itu tercetus. Benar-benar gelap. Saya tak tahu pasti rute yang harus dilewati untuk mencapai puncak Bukit Tugel. Intinya modal nekat.

Kamis sore, usai searching sana-sini di internet, tak disangka gambaran rute ke puncak Bukit Tugel mulai terkuak. Saya pasang status di YM, “Tracking Ratu Boko-Bukit Tugel, minggu 1 Juli jam 03.00, siapa mau ikut?”.

Ferdi, teman Detikcom, merespon pertama kali. Dan memang saya meminta Ferdi ikut, karena ia pernah memburu sunrise di Ratu Boko. Malam harinya, giliran kawan yang lain, Uyung menyahuti status di YM . “Mau ngajak trekking po, Za?” sahutnya di YM.

Ahh…syukurlah, usaha saya memburu sunrise tidak sia-sia: rute mulai terkuak, dua orang kawan bersedia ikut petualangan yang kami bertiga menyebutnya dengan sunrise hunter.

Mulai Dari Sini

Jam menunjukkan pukul 03.00 WIB. Dua unit motor segera kami starter untuk memulai petualangan pagi itu. Tak lupa kami bawa lampu senter, jaket tebal, dan tentunya kamera digital. Ditengah jalan, kami singgah sejenak di Circle-K membeli beberapa botol air mineral, snack, dan permen karet anti kantuk. Semua bawaan itu ditaruh di bagpack hitam saya.

Setengah jam menembus udara dingin pagi hari, tibalah kami di situs Ratu Boko pukul 03.30 WIB tepat. Tempat itu masih gelap. Beruntung ada seorang satpam tidur disitu. Disanalah kami menitipkan dua motor kami.

Hanya saja, ada keanehan pada satpam itu. Raut muka dan cara bicaranya terlihat ganjil. Mungkin, pikirnya, kami ini terlalu pagi untuk mengunjungi situs Ratu Boko. Atau memang begitu ekspresi orang bangun tidur???
Kuutarakan tentang niat kami untuk trekking dan melihat sunrise di Bukit Tugel. Setelah mendengar maksud kami, dia malah menunjukkan sifat yang meragukan. Mungkin pikirnya, rute itu (ke Bukit Tugel) cuma diketahui segelintir orang, meski ternyata, kami pun tahu.

Tapi sudahlah, prasangka buruk saya mengatakan, dia sedang menawarkan diri menjadi guide tracking kami, dan tentunya mengharap bayaran tertentu. Ini bukan hal baru , memang. Lumrahnya trekking sunrise ke Bukit Tugel dilakoni oleh guide dari biro wisata. Biayanya pun mahal, Rp 60.000-Rp 150.000/orang.

Ratu Boko : Eksotika Dalam Gelap

Perjalanan kami dimulai dari sini. Puluhan undakan tangga kami lewati untuk menuju Ratu Boko. Selang beberapa menit, tibalah kami di situs Ratu Boko.

Wow..rruarr biasa!!!, eksotis!! Mulut saya sampai terbungkam menyaksikan keindahan ini. Dihadapan saya terpampang bangunan besar berbentuk pintu gerbang dari batu hitam bertumpuk. Konon, itulah pintu gerbang Keraton Boko.

Masuk ke bagian dalam, kekaguman saya belum berhenti. Mata ini disajikan pemandangan tumpukan batu membentuk Candi, berjejer dan berdiri kokoh di padang rumput yang luas. Sebagian ada yang sudah runtuh, sebagian lagi masih utuh.

Di bagian dalam, temaram sinar bulan yang membias ke permukaan Candi, membuat pemandangan makin eksotis. Terhirup udara beraroma embun berpadu aroma tanah basah. Saya semakin tenggelam dalam eksotisnya Ratu Boko pagi itu.

Bak terbawa khayal, saya membayangkan berada pada zaman kerajaan dulu. Membayangkan berada pada saat bangunan-bangunan ini masih berupa Keraton Ratu Boko. Rasanya bagai ditengah hamparan padang rumput luas nan gelap, diapit tumpukan batu-batu tinggi. Ngeri bercampur kagum.

Puas menikmati Ratu Boko, perjalanan kami berlanjut ke Bukit Tugel. Meskipun sejujur nya, saya yang mencetuskan ide trekking ini, tidak tahu secara pasti rute menuju Bukit Tugel. Yang saya tahu bahwa untuk mencapai Bukit Tugel harus melewati rute sepanjang 8 km.

Ferdi kemudian berinisiatif mengambil jalan di belakang Ratu Boko. Jalan mendaki dan melewati semak belukar mengantar kami tiba di pedesaan. Untunglah ada warga yang sudah bangun sekira pukul 04.00 WIB pagi itu. Darinya kami diberi petunjuk jalan menuju Bukit Tugel. Dan benar, dugaan saya tak meleset. Orang itu menyebut jarak 8 km untuk mencapai Bukit Tugel.

Jalan dan Terus Berjalan

Sejurus kemudian kami mulai menyusuri jalan. Suasananya gelap. Hanya seberkas sinar lampu bohlam menyala. Rumah warga masih tertutup rapat, sesekali terdengar alunan wayang dari radio mereka. Jalan yang kami lalui tak ada yang mulus. Berbatu, kadang bertanah, tak jarang rumput liar. Cukup menantang.

Ditengah kegelapan dan udara dingin yang menusuk, kami sering menemui kebingungan. Terutama saat menghadapi pertigaan jalan, kami bingung kemana kaki harus memilih arah. Kesasar atau tidak. Hanya feeling dan pengetahuan arah mata angin yang akhirnya menentukan langkah kami malam itu.

Di sepanjang jalan ada saja tantangan. Gonggongan anjing sempat membuat langkah kami ketar-ketir. Bukan sekali, tapi beberapa kali. Bahkan nyali saya sempat ciut melihat sangarnya tampang anjing kampung buduk yang siap menerkam itu.

Uyung pahlawan untuk yang satu ini. Dengan sigapnya ia menghalau para anjing itu sembari menunjukkan kaosnya. Aneh bukan? Yap, maklum saja, di kaos hitamnya ada gambar seekor anjing memakai mahkota, dan bertuliskan RATU ASU.

Gongongan anjing berlalu, perjalanan kami berlanjut. Kaki mulai lelah dan letih. Namun, semangat kami belum padam untuk mencapai Bukit Tugel. Ditengah jalan, kami sempat 2 kali berhenti untuk sekedar menghilangkan dahaga.

Setelah menyusur jalan pedesaan entah berapa jauhnya, tibalah kami di kaki bukit yang juga entah apa namanya. Kami sempat bertemu dengan rombongan yang sedang camping.

Darinya kami tahu kemana arah Bukit Tugel.

Seorang diantara mereka menunjuk bukit didepan kami bernama Bukit Tugel, atau ada juga yang menyebutnya dengan Gunung Tugel. “Tujuan kami makin dekat!”, begitu pikirku dalam hati. Lanjutnya pula, kami harus melewati jalan mendaki sekira 500 meter, untuk mencapai puncak yang pas untuk melihat sunrise.

Tanpa pikir panjang langsung kami mendaki bukit itu. Tidak terjal, dan sepertinya sudah terbentuk jalan setapak di tanah. Jalannya berbatu. Tanah licin, memaksa kami harus menjaga keseimbangan agar tak jatuh.

Saat mendaki, Uyung di posisi terdepan, membuka jalan yang kami lalui. Ferdi ditengah menyoroti gelapnya jalan dengan lampu senter. Sementara saya di posisi belakang.

Di tengah jalan mendaki, saya sempat tekapar sesaat di pinggir jurang. Nafas sudah ngos-ngosan.

Kusandarkan tubuhku di batu besar. Didepan mata kulihat pohon pohon tinggi menjulang. Bulan yang mengintip di balik daun, terasa syahdu menyinari gelapnya dinihari itu.

Nafas saya memburu cepat. Udara dingin membuat tulang kaki terasa lemah, dan gemetar. Kalau saja tidak disemangati, saya mungkin akan menunggu disitu sendirian, sementara Uyung dan Ferdi mencapai puncak Bukit Tugel.

Dengan sisa-sisa tenaga, saya berdiri dan melanjuti perjalanan. Bagpack saya pindah ke pundak Ferdi. Katanya agar saya lebih ringan berjalan.

Tiba di suatu pematang, kami bingung memilih jalan menuju puncak. Lalu diputuskan Uyung jalan menaik ke suatu arah, mengecek apakah itu puncak yang kami tuju. Saya dan Ferdi menunggu di bawah, hingga tiba-tiba Uyung menyahut dari kejauhan. Ia memberi sinyal: inilah puncak yang kami cari.

Bergegas saya dan Ferdi menyusul Uyung diatas.

Dan….”woww!!!! I’m coming sunrise!” begitu pekikku. Ya, akhirnya kami tiba diatas Bukit Tugel tepat pukul 05.00 WIB. Suasana langit masih gelap, namun mulai memerah sedikit demi sedikit. Dari jauh, bulan masih tampak sempurna bulat menyisakan sinarnya. Melirik ke utara, terlihat samar-samar siluet puncak Gunung Merapi.

“Ahh..sampai juga akhirnya,” begitu gumamku.

Tak berapa lama, detik-detik sunrise kami nikmati sembari duduk-duduk dan rebahan diatas batu. Sementara Uyung asik beraksi dengan kameranya, saya dan Ferdi sempat menunaikan salat subuh.

Seperti melihat pertunjukkan dengan screen raksasa, perlahan -lahan sang surya muncul dari balik awan. Langit gelap mulai cerah membiru, diselingi semburat sinar oranye di langit.

Dari jauh, Gunung Merapi tak mau ketinggalan menampakkan keindahannya. Kabut pagi itu tak begitu pekat menutupi puncak Merapi. Sehingga puncak Merapi yang sedang mengepulkan asapnya, terlihat jelas. Udara pun begitu segar dihirup.

“Ahh…indah sekali,”.

Usai menikmati sunrise, kami beralih menikmati pemandangan alam sekitar. Paduan pohon-pohon tinggi nan rimbun, terjalnya tebing perbukitan, sementara dari atas bukit kami melihat jelas petak-petak sawah warga, hijau semua.

Udara di ketinggian itu masih dingin. Tiupannya lumayan kencang. Kuping saya sampai terasa sakit, disebabkan tekanan udara.

Puas sudah petualangan kami hari itu. Semua letih dan rasa penasaran terbayar lunas dengan indahnya sunrise dan pemandangan pagi itu.

Sekira pukul 06.30 WIB, kami mulai menuruni bukit, dan kembali menyusuri jalan pedesaan. Bedanya, kali ini tidak gelap, dan pemandangan sekeliling begitu indah di mata. Termasuk melihat Candi Prambanan dari kejauhan, dari posisi yang lebih tinggi.

Trekking Nyeker

Total kurang lebih 16 km kami susuri untuk rute pulang-pergi trekking ini. Ada kejadian lucu. Kira-kira di kilometer 1,5, saat perjalanan menuju Bukit Tugel, sandal saya putus. Kontan saja saya trekking tanpa alas kaki, alias nyeker.

Kalau dihitung-hitung, 14,5 km lamanya telapak kaki saya menapaki jalan berbatu dan licin. Meski tidak terlalu sakit dan terluka, namun beberapa kali saya mencabuti duri tajam yang menusuk telapak kaki. Lumayan sakit.

Sekelumit aksi nekat memburu sunrise ini tidak membuat saya kapok. Di hari kemudian, kami bertiga akan merencanakan aksi serupa. Destinasi berikutnya belum ditentukan. Namun kami berteriak “we are sunrise hunter!!”.

µphoto by Ferdi, diambil dari sini

Rz, sunrise-hunter-wanna be