DEWI

dewi

Dewi…/ Bukalah kedua matamu / Pandanglah ruang di hatiku

Dewi…/ Berikan nafasmu untukku / Agar ku hidup bersamamu..

Bersamamu..

Terus bersamamu..

Rz, kangen-dewi

Dibalik Nama

Lamat-lamat terdengar dari seberang jalan. Dari sebuah Masjid yang sesak oleh jamaah Shalat Tarawih.

Saya sedang melahap habis semangkuk bubur kacang ijo (burjo) di warung depan Masjid, ketika sang pengkhutbah mendawamkan kata-katanya. Dia bercerita soal makna dibalik nama.

“Aneh, Al Amien itu gelar yang disematkan untuk Nabi Muhammad karena dia orang yang jujur. Al Amien itu artinya orang yang dipercaya. Lha, kenapa tiba-tiba ada tulisan besar di koran bilang Al Amien ditangkap akibat terima suap”

Masih kata pengkhutbah yang hanya saya dengar gelegar suaranya dari pengeras suara Masjid, yang distel keras, melindas suara desingan motor yang melintas.

“Ada lagi. Bulyan Royan ditangkap menerima suap. Bayangkan, Royan itu pintu istimewa. Pintu memasuki surga yang hanya bisa dimasuki orang-orang yang berpuasa seperti kita ini. Namanya Babul Royyan” ujarnya tegas.

Belum selesai khutbahnya, saya pulang setelah membayar semangkuk burjo. Di kamar saya kembali memikirkan dawam sang pengkhutbah tadi. Katanya, nama itu doa – dari orangtua yang memberikan nama- agar kelak sang anak yang diberi nama itu menjadi seperti yang dikehendaki dalam doa. Jadi, kalau doanya saja menjadi orang yang terpercaya, lalu apa jadinya jika ternyata menerima suap?

Kalau begitu, salah namanya apa salah orangnya.

Rz, nama-saya-gak-ada-doanya

Ideologis vs Pragmatis

Kawan saya, sebut saja si A. Pemimpin cabang dari sebuah organisasi massa yang memiliki anggota banyak di Indonesia.

Dia mengeluh ke saya gara-gara beberapa fungsionarisnya: Wakil Ketua, Sekjen, dan setengah jumlah Menteri mundur tanpa sebab, saat masa kepemimpinannya baru berjalan beberapa bulan.

Padahal, mereka-mereka yang mundur itu dulu begitu loyal mengantarkan si A meraih kursi pemimpin.

“Kenapa bisa?” tanya si A

Jawab saya singkat, “Anda membangun basis pendukung tidak ideologis!”

“Loh kok bisa?!” jawab si A heran.

Saya uraikan begini. Anda meraih kursi Ketua Umum dengan cara menebar konflik dan melancarkan kampanye kotor terhadap si B – sang pemimpin sebelumnya– dan para pendukung si B.  Itu semua dilakukan melalui mulut dan tangan-tangan kotor para pendukung Anda.

“Tahu gak?” kata saya. Si A masih bengong

Mereka itu cuma butuh Anda untuk meraih posisi di organisasi, tapi sebetulnya mereka tidak seideologi dengan Anda. Mereka-mereka itu pragmatis. Anda hanya dijadikan alat, tak lebih dari sekedar kendaraan misi pragmatis mereka. Ketika misi mereka tercapai, mereka punya kepentingan sendiri dan Anda begitu mudah dilupakan. Tak ada lagi dukungan itu. Malah saya tidak heran melihat seorang Menteri Anda berkhianat. Itu wajar kok! Anda sudah dikelabui.

“Tahu gak? Kenapa mereka mendukung Anda?” tanya saya memecah lamunan Si A. Tapi dia masih menggeleng linglung.

Karena mereka-mereka itu tak bisa mendapat “kendaraan” dari si B. Terlalu banyak pendukung si B yang harus mereka hadapi. Pendukung si B itu ideologis, dengan loyalitas tinggi. Mereka bakal menghadang misi pendukung palsu Anda itu.

Jadi, jangan heran! Salah Anda sendiri membangun pendukung yang cuma pragmatis itu.

“Jadi apa yang harus saya lakukan?” si A bertanya memelas.

“Tunggu saja kejatuhanmu”

“Atau, kalau Anda mau rendah hati, minta maaflah pada si B yang sudah Anda fitnah. Biarkan pendukung si B mengisi posisi yang ditinggalkan pendukung Anda. Mereka-mereka itu orang teruji. Kapabilitasnya jelas” Terang saya.

Rz, saya-ideologis-gak?

SMS Kematian Soeharto

Berita kematian Soeharto bukan cuma laris di televisi, radio, ataupun internet saja. Lewat ponsel, sms berantai terkait kematian Soeharto beredar cepat tak berapa lama setelah Soeharto wafat

Termasuk kami-kami para wartawan peliput Soeharto di Solo. Ada 3 sms yang kebetulan mampir di ponsel saya: 2 bernada mengecam, sisanya gojek mistis

1. “Tolak instruksi Hari Berkabung 7 Hari! Tolak gelar kepahlawanan buat diktator Soeharto!”

—–

2. “Jangan lupa! Soeharto punya dosa: pelanggaran HAM, korupsi, kolusi, dan nepotisme”
—–

3. “Banyak orang nunggui Pak Harto mangkat. Bukan wartawan, bukan menteri2 cari muka itu! Tapi jaga2 siapa tahu ada keris, akik, jimat yang mental saat Pak Harto berhenti napas”

Rz, saya-suka-sms-ketiga

SARS (Sindrom Aku Rindu Soeharto)


Pak Harto lengser keprabon dari kursi Presiden hampir 10 tahun silam. Hujatan, dan juga tuduhan koruptor kontan menerpa dirinya bertubi-tubi setelah ia menyerahkan tampuk kekuasaan ke B.J Habibie pada 22 Mei 1998.

Bukan cuma hujatan, Pak Harto juga dihadapkan pada seabreg kasus hukum: korupsi, pelanggaran HAM dll. Soal kasus hukum, Pak Harto boleh lega. Berkat kelihaian gerombolan pengacaranya, Soeharto berhasil “diamankan” dari jerat Pengadilan berdalih sakit ingatan permanen.

Tapi itu soal jerat hukum. Soal hujatan, belum juga reda. Hanya saja hujatan itu seolah-olah berbalik arah sekarang ini. Begitu ia kritis belakangan ini, dan menjelang ajal akhir-hayatnya, tiba-tiba saja banyak orang yang mengelu-elukan dirinya. Bahkan kemudian melontarkan wacana memaafkan dengan mempertimbangkan jasa-jasa baik beliau selama 32 tahun.

Bak anekdot saja, yang semula dibenci dan dihujat, kini berbagai simpati mengalir balik kepada mantan penguasa rezim orde baru ini.

Gejala apa? SARS-kah ini?

Rz, SARS- yang-ini-penyakit-mematikan-bukan?