Pria paruh baya itu serius menghadap altar pemujaan. Matanya memejam. Kedua tangannya diangkat setinggi wajah sembari mengayun-ayunkan dua batang dupa bakar dalam gengamannya. Aroma wangi pun menyeruak di klenteng. Ia larut dalam ritual sembahyang seolah tak terpengaruh riuh ramai pedagang di luar pagar klenteng berusia lebih dari seabad itu.
Nama asli klenteng itu Zhen Ling Gong. Orang kebanyakan lebih mengenalnya dengan Klenteng Poncowinatan karena letaknya di jalan Poncowinatan. Klenteng tua di utara Tugu Yogyakarta ini sudah ada sejak tahun 1897 dan merupakan klenteng tertua di Yogyakarta. Lokasinya berhadap-hadapan dengan Pasar Kranggan, dipisahkan oleh jalan selebar 5 meter. Kondisi bangunannya sebagian masih asli seperti ketika dibangun pertama kali dulu.
“Awalnya Sultan HB VII memberikan tanah seluas 6.244 meter persegi kepada orang tionghoa. Di tanah itulah lalu didirikan klenteng,” kata pria itu. Ia adalah Ziput Lokasari, pengurus Yayasan Bakti Loka yang menanungi Klenteng Poncowinatan dan Klenteng di Gondomanan.
Menurut cerita Ziput, sekira tahun 1860-an di kawasan sebelah utara Tugu Yogyakarta ditetapkan sebagai kawasan penduduk tionghoa oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Diatas Sultan Ground (tanah keraton/milik sultan) yang diberikan itulah, pertama-tama orang tionghoa mendirikan tempat peribadatan mereka yakni Kauw Lang Teng, yang kemudian mengalami perubahan penyebutan menjadi Klenteng.
“Mereka bahu-membahu mendirikan klenteng dengan uang mereka. Sumbangan itu dikumpulkan dari yang terkecil 5 sen sampai 300 gulden. Itu arsipnya masih ada,” katanya lagi.
Selesai membangun klenteng, pada tahun 1907 orang tionghoa juga memikirkan pendidikan bagi mereka. Lantas sekolah modern tionghoa pertama di Yogyakarta dibangun di kawasan klenteng. Namanya Tiong Hoa Hak Tong (THHT) yang menginduk pada Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia. Bangunan THHT berdiri di sebelah barat klenteng. Sehingga di kawasan yang sejak tahun 1923 tercatat sebagai China Temple, ini kemudian terbagi menjadi tiga: bagian tengah untuk rumah ibadah seluas 2.000 meter persegi, sebelah barat untuk sekolah seluas 1.200 meter persegi, sisanya untuk tempat olahraga dan kebudayaan.
Pengelola THHT dan klenteng orang yang sama. Selain dikelola etnis tionghoa, keduanya memang sedari awal satu bagian dalam kawasan klenteng. Ziput memastikan itu dengan menunjuk sebuah akta pendirian sekolah dalam bahasa Belanda yang sudah diterjemahkan baru-baru ini. Dalam akta Nomor 24 tertanggal 19 Juni 1907 itu, disebutkan pendirian THHT dimaksudkan untuk menyebarkan ajaran Konghucu lewat sekolah yang dibuka di klenteng.
Tapi sekolah THHT sudah tidak ada lagi. Pengelolaan sekolah berganti-ganti, sejak pemerintah Belanda mendirikan Holland Chinese School (HCS ), dan kemudian melarang pengelolaan sekolah oleh etnis tionghoa. Terakhir, pada tahun 1970 pengelolaan sekolah dikuasai oleh Yayasan Budya Wacana (YBW). Sekarang ini klenteng diapit ketat oleh sekolah Budya Wacana di sebelah barat, dan sebelah timur berdiri Sekolah Bhineka Tunggal Ika.
Setiap imlek dan hari-hari keagamaan bagi orang tionghoa, klenteng ini ramai dikunjungi. Klenteng ini juga menarik perhatian wisatawan lantaran termasuk salah satu bangunan tua di Yogyakarta. Beberapa pihak mengusahakan klenteng ini ditetapkan sebagai kawasan heritage alias benda cagar budaya.
Namun sejak tahun 2007 ketenangan umat di klenteng terusik. Sengketa antara Yayasan Bakti Loka (YBL) sebagai pengelola klenteng dengan Yayasan Budya Wacana (YBW) sebagai pengelola sekolah Budya Wacana menjadi pemicunya. Pihak klenteng menuding telah terjadi perusakan klenteng Poncowinatan sebagai benda cagar budaya oleh pihak YBW.
Semuanya berawal sejak gempa yogyakarta pada 27 Mei 2006 lalu. Pasca gempa besar itu, pihak YBW merasa gedung tua yang mereka tempati tidak lagi aman lantaran banyak kerusakan akibat gempa. YBW lantas merenovasi bangunan sekolah dengan merubuhkan bangunan lama. Diatas tanah itulah kemudian didirikan bangunan tiga lantai sebagai bangunan sekolah yang baru.
Langkah YBW merubuhkan bangunan sekolah, belakangan dipersoalkan. Pihak YBL menganggap YBW telah merusak sebagian kawasan klenteng. Beberapa surat rekomendasi yang dikeluarkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta menyatakan bahwa kawasan kelenteng itu telah menjadi kawasan cagar budaya. YBL pun beranggapan sekolah Budya Wacana menempati tanah dan bangunan yang semula adalah bagian dari klenteng. Pihak klenteng makin yakin, perubuhan bangunan sekolah yang lama dianggap sebagai perusakan atas bagian klenteng.
YBL punya dalil kuat dibalik tudingan perusakan itu. Menurut Ziput, selama ini sekolah Budya Wacana memang tidak terpisahkan dengan kawasan klenteng. Bangunannya pun menyatu dengan klenteng.
“Bangunan sekolah awalnya bagian klenteng,” terang Ziput sembari menunjukkan sebuah foto kawasan klenteng tahun 1950-an. Dalam foto itu memang terlihat tidak ada pemisah antara bangunan sekolah dengan klenteng. Tapi, sejak bangunan sekolah Budya Wacana yang baru berdiri, klenteng dan sekolah seolah terpisahkan.
YBW leluasa merubuhkan bangunan lama kabarnya karena mengantongi izin dari Pemkot Yogyakarta. Pihak yang menentang pembangunan sekolah Budya Wacana pun kemudian mengajukan gugatan soal pemberian izin ini. Sidang gugatan YBL atas Pemkot Yogyakarta di PTUN memutuskan pembangunan sekolah tidak boleh dilanjutkan sembari menunggu keputusan apakah kawasan klenteng termasuk benda cagar budaya atau tidak.
Namun, YBW tidak menggubris dan terus melakukan pembangunan gedung sekolah. Bahkan pihak YBW menolak tudingan merusak cagar budaya. Pihak YBW beralasan belum ada keputusan resmi apakah kawasan klenteng Poncowinatan termasuk cagar budaya atau tidak.
Pihak YBL ganti membantah alasan yang dikemukakan YBW. Mereka beranggapan, kendati klenteng Poncowinatan belum berstatus sebagai benda cagar budaya, bukan berarti pihak YBW bisa seenaknya merubuhkan bangunan sekolah yang lama, yang menurut mereka satu kesatuan dalam kawasan klenteng. “Kalau belum cagar budaya, toh bangunan itu sudah berumur diatas 50 tahun. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992, bangunan yang berumur lebih dari 50 tahun dianggap bangunan cagar budaya,” ujar Ziput lagi.
Pekan lalu, bersama Komisi II DPRD Yogyakarta, pihak yang menentang perusakan klenteng juga mengadukan Pemkot Yogyakarta ke UNESCO, Dinas Pariwisata Seni dan Budaya DIY, serta ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta atas dugaan ikut andil dalam perusakan klenteng. BP3 DIY memutuskan akan melakukan kajian terhadap status kawasan klenteng Poncowinatan apakah layak ditetapkan sebagai benda cagar budaya atau tidak.
Sayangnya kawasan itu sudah tak utuh lagi. Sekolah dan klenteng terpisah, bahkan sebagian bangunannya telah hancur. “Yang tertinggal hanya separuh, kelentengnya saja,” tutur Ziput
Gedung baru sekolah Budya Wacana itu kini terlanjur selesai dibangun. Ia berdiri kokoh disamping klenteng. Tembok menjulang tinggi selebar 60 cm memisahkan keduanya.
Rz, suka-liat-bangunan-tua